Seringkali, manusia memiliki pola hubungan yang unik—jika tidak bisa dibilang miris—dengan Sang Pencipta. Kita cenderung menjadi hamba yang paling khusyuk, paling merendah, dan paling sering mengetuk pintu langit manakala ujian hidup sedang berat-beratnya. Saat sakit mendera, saat dompet menipis, atau saat masalah datang bertubi-tubi, sajadah kita tiba-tiba menjadi tempat yang paling nyaman. Air mata mudah tumpah, dan doa-doa panjang terucap tanpa henti.
Namun, apa yang terjadi ketika badai berlalu? Ketika tubuh kembali bugar, karier menanjak, dan tawa kembali menghiasi hari-hari kita? Seringkali, intensitas “obrolan” kita dengan Tuhan perlahan menyurut. Doa menjadi sekadar ritual kilat, atau bahkan terlupakan karena kita terlalu sibuk menikmati kebahagiaan itu sendiri.
Padahal, sebuah nasihat agung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (seperti yang tertera pada gambar) memberikan kita sebuah kunci rahasia: “Barangsiapa yang senang jika doanya dikabulkan oleh Allah dalam keadaan sulit dan susah, maka perbanyaklah doa di kala lapang.”
Memahami Definisi “Lapang”
Sebelum melangkah lebih jauh, kita perlu meredefinisikan apa itu “kala lapang”. Lapang bukan hanya berarti kaya raya atau memiliki jabatan tinggi. Waktu lapang adalah saat kita bisa bernapas lega tanpa himpitan masalah besar.
Lapang adalah saat kita sehat dan bisa berjalan tanpa rasa sakit. Lapang adalah saat kita memiliki waktu luang di sela pekerjaan. Lapang adalah saat keluarga kita aman dan kita bisa tidur nyenyak di malam hari. Justru di momen-momen “biasa” dan nyaman inilah, ujian keimanan yang sesungguhnya terjadi: Apakah kita masih ingat untuk mengobrol dengan Tuhan saat kita tidak sedang membutuhkan pertolongan mendesak?
Logika “Investasi” Spiritual
Bayangkan kita memiliki seorang teman. Teman ini tidak pernah menyapa, tidak pernah menelepon, dan tidak pernah mengajak kita bicara saat ia sedang sukses dan bahagia. Namun, begitu ia terlilit utang atau masalah besar, ia tiba-tiba datang memohon bantuan dengan wajah memelas. Bagaimana perasaan kita? Mungkin kita akan tetap membantu karena kasihan, tetapi rasanya tentu kurang nyaman. Hubungan itu terasa transaksional, bukan hubungan persahabatan yang tulus.
Sebaliknya, bayangkan seorang sahabat yang selalu ada. Saat ia bahagia, ia berbagi cerita. Ia sering menyapa tanpa ada maunya. Maka, ketika sahabat ini tertimpa musibah, tanpa ia minta pun, kita akan berlari paling depan untuk menolongnya.
Meskipun Allah Maha Pengasih dan tidak bisa disamakan dengan makhluk, analogi ini membantu kita memahami “psikologi” doa. Memperbanyak doa di kala lapang adalah bentuk “investasi” hubungan. Ini adalah cara kita membangun kedekatan (taqarrub) yang tulus. Kita berdoa bukan semata-mata karena butuh jalan keluar, tapi karena kita memang rindu dan butuh terhubung dengan Sumber Segala Kekuatan.
Ketika kita rajin berdoa di saat bahagia, kita sedang menabung “jejak suara” di langit. Para malaikat menjadi familiar dengan suara kita. Sehingga, ketika suatu saat kita jatuh ke dalam lubang kesulitan dan merintih memohon pertolongan, suara kita bukanlah suara asing. “Ini adalah suara hamba yang selalu bersyukur dan berdoa di masa jayanya,” mungkin begitu gema yang terdengar di langit.
Doa Sebagai Bentuk Pengakuan
Berdoa di kala lapang juga melatih kita untuk tidak sombong. Saat sukses, ego manusia seringkali berbisik bahwa pencapaian ini adalah hasil kerja keras kita sendiri. “Ini karena aku pintar,” atau “Ini karena strategiku jitu.”
Dengan tetap berdoa di tengah kesuksesan, kita secara sadar meruntuhkan ego tersebut. Kita mengakui, “Ya Allah, kelapangan ini adalah titipan-Mu. Aku lemah tanpa penjagaan-Mu.” Doa di masa jaya adalah rem pakem yang mencegah kita tergelincir ke dalam kesombongan atau istidraj (kenikmatan yang menyesatkan).
Hadits ini mengajarkan kita bahwa doa bukan hanya “tombol darurat”. Doa adalah napas kehidupan seorang mukmin. Jangan biarkan kenyamanan membuat kita lupa siapa Pemberi kenyamanan tersebut. Ingatlah Dia saat kamu “kaya”, maka Dia akan mengingatmu saat kamu “miskin”. Ingatlah Dia saat kamu kuat, maka Dia akan menggendongmu saat kamu lemah.
Penerapan Singkat dalam Kehidupan Sehari-hari
Bagaimana cara praktis menerapkan “Perbanyak Doa di Kala Lapang” agar tidak terasa berat? Berikut adalah langkah-langkah sederhana yang bisa kita mulai hari ini:
- Ubah Syukur Menjadi Doa Saat mendapatkan kabar baik (misalnya gaji cair, anak berprestasi, atau sekadar makanan enak), jangan hanya ucapkan “Alhamdulillah” lalu selesai. Lanjutkan dengan doa permohonan. Contoh: “Alhamdulillah atas rezeki ini ya Allah. Jadikanlah rezeki ini berkah, jauhkan aku dari sifat boros, dan mampukan aku untuk berbagi dengan yang lain.”
- Manfaatkan Waktu Menunggu Di “kala lapang” seperti saat menunggu antrean, terjebak macet (namun kondisi aman), atau jeda istirahat kerja, hindari langsung membuka media sosial. Gunakan 1-2 menit untuk berdoa hal-hal sederhana. Doakan kesehatan orang tua, doakan kelancaran urusan teman, atau mintalah ketetapan hati.
- Doakan Hal-Hal Kecil (Detail) Jangan menunggu masalah besar baru berdoa. Libatkan Allah dalam urusan remeh di kala lapang. Contoh: Saat hendak memilih baju, saat akan berangkat meeting, atau saat menyeduh kopi pagi. “Ya Allah, berkahilah hari ini, mudahkan lisanku berbicara yang baik.” Ini membangun kebiasaan bahwa kita bergantung pada-Nya setiap detik.
- Doa untuk Orang Lain Saat kita sedang lapang, kita punya energi lebih. Gunakan itu untuk mendoakan orang lain secara diam-diam. Doa malaikat bagi orang yang mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuan adalah: “Dan bagimu juga seperti itu.” Ini adalah cara cerdas “menabung” doa di saat kita sedang baik-baik saja.
Dengan membiasakan hal ini, kita tidak hanya mendekatkan diri pada terkabulnya doa saat sulit, tetapi juga membuat hati kita jauh lebih tenang dan “membumi” saat sedang berada di puncak kesuksesan.
